Keutamaan Ilmu

Keutamaan Ilmu
Dalil Al-Qur'an
Allah ta'ala berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
"Katakanlah Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu." (QS. Thoha : 114)
Allah ta'ala berfirman,
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
"Katakanlah : apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu ?." (QS. Az-Zumar : 9)
Allah ta'ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan yang diberi ilmu." (QS. Al-Mujaadalah : 11)
Allah ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu." (QS. Fathir : 28)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Dan telah diketahui pula bahwasanya setiap muslim pasti memiliki rasa takut kepada Allah, setiap mukmin juga pasti merasa takut kepada Allah. Akan tetapi rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para ahli ilmu, dan pemuka tertinggi mereka ialah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam kemudian diikuti orang-orang sesudah mereka yaitu para ulama menurut tingkatan mereka masing-masing. Para ulama, mereka itulah pewaris para Nabi. Rasa takut kepada Allah adalah hak. Sedangkan rasa takut yang sempurna hanya ada pada diri ahli ilmu yang mengenal Allah dan memiliki bukti-bukti kuat tentang keesaan-Nya, dan mengetahui kesempurnaan Nama-nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya dan menyadari betapa agung hak yang dimiliki-Nya yang Maha suci lagi Maha tinggi. Dan para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam adalah orang-orang terdepan di antara mereka, kemudian diikuti sesudahnya oleh ahli ilmu dengan berbagai macam tingkatan pemahaman mereka dalam ilmu tentang Allah dan agama-Nya. Sudah sepantasnya bagi setiap alim dan penuntut ilmu untuk senantiasa memperhatikan perkara ini dan merasa takut kepada Allah di mana pun dia berada serta berusaha untuk terus mendekatkan dirinya kepada Allah dalam semua urusannya, baik dalam menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, menyebarkan ilmu dan dalam setiap aspek hak Allah dan hak hamba yang harus ditunaikan olehnya." (Fadhlul 'ilmu wa syarafu ahlihi)

Dalil As-Sunnah
عن معاوية رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من يرد اللَّه به خيراً يفقهه في الدين مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Mu'awiyah radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Ini menunjukkan bahwasanya salah satu ciri kebaikan dan tanda kebahagiaan ialah seorang hamba diberikan kepahaman dalam hal agama Allah. Setiap penuntut ilmu yang ikhlas di perguruan tinggi manapun atau di Ma’had ‘Ilmi manapun, atau di selain keduanya hendaknya menjadikan pemahaman seperti inilah yang dicari dan diinginkannya. Oleh sebab itu kita memohon kepada Allah supaya mereka mendapatkan taufik dan hidayah untuk menggapainya dan tercapai tujuan yang dicita-citakannya. Dan barangsiapa yang justru berpaling dari mempelajari ilmu agama maka itu merupakan salah satu ciri bahwa Allah menghendaki buruk pada dirinya, laa haula wa laa quwwata illa billaah." (Fadhlul 'ilmu wa syarafu ahlihi)
عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه اللَّه مالاً فسلطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه اللَّه الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara : seorang yang diberi karunia harta oleh Allah kemudian dia mempergunakannya dengan sebaik-baiknya dalam urusan yang benar dan seorang yang diberi karunia hikmah (ilmu) dan dia memutuskan urusan berdasarkan ilmu serta mengajarkannya kepada orang." (Muttafaq 'alaih) Imam Nawawi berkata : yang dimaksud dengan hasad di sini adalah ghibthah : yaitu keinginan untuk bisa berbuat baik seperti orang lain tersebut.
عن أبي موسى رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: مثل ما بعثني اللَّه به من الهدى والعلم كمثل غيث أصاب أرضاً فكانت منها طائفة طيبة قبلت الماء، فأنبتت الكلأ والعشب الكثير، وكان منها أجادب أمسكت الماء، فنفع اللَّه بها الناس فشربوا منها وسقوا وزرعوا، وأصاب طائفة منها أخرى إنما هي قيعان لا تمسك ماءً ولا تنبت كلأ؛ فذلك مثل من فقه في دين اللَّه ونفعه ما بعثني اللَّه به فعلم وعلّم، ومثل من لم يرفع بذلك رأساً ولم يقبل هدى اللَّه الذي أرسلت به مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diamanatkan kepadaku oleh Allah ialah sebagaimana air hujan yang menyirami bumi. Ada diantara tanahnya yang subur. Tanah itu mampu menyerap air dan kemudian menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak. Dan ada pula di sana tanah yang keras sehingga bisa menampung air dan dengan perantaranya Allah memberikan manfaat bagi umat manusia. Mereka minum, memberikan minum (untuk ternak) dan mengairi lahan pertanian dengannya. Dan air hujan itu juga turun menyirami bagian bumi yang lainnya, akan tetapi tanah itu tandus lagi licin sehingga tidak mampu menahan air serta tidak bisa menumbuhkan tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah dan dapat memetik manfaat dari ajaran Allah yang diamanatkan kepadaku, dia mengetahui dan mengajarkan ilmunya dan perumpamaan orang yang tidak mau ambil peduli serta tidak menerima petunjuk Allah yang diamanatkan kepadaku." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, " Maka para ulama yang mendapatkan taufik untuk mengemban ilmu ini terbagi ke dalam dua tingkatan : Tingkatan Pertama ialah mereka yang berhasil meraih ilmu, bisa mengamalkannya, terus mendalaminya dan mengambil berbagai macam kesimpulan hukum, sehingga mereka pun terlahir menjadi para Hafizh (penghafal hadits) dan Fuqaha/Ahli Fikih. Mereka menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang-orang, dan mereka bisa memahamkan orang lain, memberikan pencerahan dan faidah kepada mereka. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai mu’allim (pengajar) dan ada yang menjadi muqri’ (pembaca), serta ada juga yang menjadi da’i ilallah ‘azza wa jalla atau menjadi mudarris (guru) yang mengajarkan ilmu…, dan profesi-profesi lainnya yang merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan penularan pemahaman. Adapun Tingkatan Kedua ialah : mereka itu adalah orang-orang yang menghafalkan dan menukilkannya kepada orang lain yang sudah dibukakan pemahaman ilmu baginya, sehingga orang itu bisa menarik berbagai kesimpulan hukum dari berita yang didapatkannya itu. Maka dengan begitu kedua kelompok ini sama-sama memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar dan melimpah serta bisa memberikan manfaat luas kepada umat. Adapun kebanyakan orang yang ada, perumpamaan mereka itu ialah seperti tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan tidak mampu menumbuhkan rerumputan. Itu terjadi disebabkan karena mereka berpaling, lalai serta tidak mau menaruh perhatian terhadap ilmu." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Beliau juga berkata, "Oleh sebab itu maka para ulama dan penuntut ilmu yang aktif dalam berbagai aktifitas penyebaran ilmu syar’i memiliki kebaikan yang sangat banyak serta berada di atas jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah untuk itu. Dan itu hanya berlaku bagi orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk bisa mengikhlaskan niat dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga datanglah para penuntut ilmu syar’i secara beramai-ramai untuk mendalami agama Allah dan berjuang untuk bisa meraih pencerahan dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang meliputi petunjuk dan ilmu pengetahuan. Dan hendaknya mereka saling berlomba untuk menuntutnya. Dan juga hendaknya mereka bersabar dalam meniti jalan tersebut, karena mereka harus bertemu dengan rasa letih dan menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya ilmu itu tidak akan bisa digapai apabila dicari dengan tubuh yang selalu santai-santai. Akan tetapi sangat dibutuhkan kesungguh-sungguhan, kesabaran, dan berani merasakan keletihan. Inilah yang diucapkan oleh Imam Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahih beliau dalam bab-bab tentang Mawaqit (Waktu-Waktu Shalat) yang terdapat di dalam Kitab Shalat. Ketika beliau membawakan sekian banyak sanad, di antara riwayat yang beliau sebutkan adalah perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah. Yahya mengatakan, “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” Maksud beliau rahimahullah dengan ungkapan ini ialah sebagai catatan yang harus diingat bahwasanya untuk menggali ilmu dan mendalami agama itu sangat diperlukan kesabaran dan keteguhan. Selain itu dibutuhkan juga curahan perhatian dan pemeliharaan waktu dan senantiasa harus diiringi dengan keikhlasan dalam beramal karena Allah dan menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)
Beliau melanjutkan keterangannya, "Oleh karena itu maka keberadaan berbagai kegiatan daurah ilmiah yang di dalamnya diajarkan ilmu syar’i dan juga keberadaan masjid-masjid yang di sana diadakan berbagai halaqah ilmiah syar’iyah memiliki peranan yang sangat penting. Faidah yang bisa digali darinya juga amat besar. Karena sarana-sarana seperti itu memang dipersiapkan untuk menyebarkan manfaat bagi orang banyak dan bisa menguraikan berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Orang-orang yang telah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu sangat diharapkan sudah berhasil meraih kebaikan dan pelajaran yang banyak serta manfaat yang bisa disebarluaskan. Tidaklah seyogyanya bagi orang yang sudah diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah kemudian dia justru memisahkan diri dari upaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia dan tidak ikut berusaha menanamkan pemahaman agama kepada mereka atau mengingatkan mereka tentang Allah, hak-Nya serta hak hamba-hamba-Nya. Dia bisa saja menempuh cara mengajar, atau melalui pengambilan keputusan peradilan, atau dengan memberikan nasihat dan peringatan, atau sekedar saling mengingat-ingat isi pelajaran bersama sahabat-sahabat dan saudara-saudaranya di dalam berbagai arena pertemuan yang bersifat umum maupun yang khusus."

"Demikian pula sudah semestinya bagi para ulama untuk turut bergabung dalam upaya menyebarkan ilmu melalui berbagai media informasi yang tersedia, karena dengan cara itu faidah yang didapatkan darinya akan sangat besar dan juga ilmu yang disampaikan akan bisa menjangkau segala penjuru bumi sejauh yang dikehendaki oleh Allah. Kebaikan sangat besar yang dicapai dengan menempuh metode semacam itu sudah sangat diketahui. Begitu pula dengan cara demikian maka kaum muslimin yang bisa merasakan manfaatnya semakin bertambah luas, terlebih lagi pada masa ini kebutuhan akan hal itu adalah sangat mendesak, bahkan di sepanjang masa hal itu selalu diperlukan. Hanya saja pada masa kita sekarang ini kebutuhan itu semakin memuncak karena begitu sedikitnya ilmu yang tersebar dan betapa banyaknya ajakan yang ditebarkan oleh para penyeru kebatilan. Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi orang yang diberikan rizki ilmu oleh Allah untuk berani mengambil resiko dan menanggung beban kesulitan untuk berupaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak melalui media-media tersebut. Baik dengan cara ikut andil dalam mengambil keputusan peradilan, memberikan pengajaran, mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla maupun cara lainnya yang menyangkut urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga akan tercapailah manfaat yang begitu besar dan buah yang sangat agung sebagai hasil dari upaya ini." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

عن سهل بن سعد رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال لعليّ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ: فوالله لأن يهدي اللَّه بك رجلاً واحداً خير لك من حمر النعم مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Ali radhiyallahu'anhu : "Demi Allah, sesungguhnya apabila Allah memberikan hidayah seseorang melalui tanganmu itu lebih baik bagimu daripada unta-unta yang merah." (Muttafaq 'alaih)
عن عبد اللَّه بن عمرو بن العاص رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Dari 'Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sampaikanlah dariku, meskipun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah berita dari Bani Isra'il tanpa perlu merasa berat. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari)
عن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: ومن سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل اللَّه له طريقاً إلى الجنة رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
عنه أيضاً رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: من دعا إلى هدىً كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئاً رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengajak menuju petunjuk maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikuti ajakannya, dan hal itu tidaklah mengurangi pahala-pahala mereka barang sedikitpun." (HR. Muslim)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila anak Adam meninggal maka akan terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan orang tuanya." (HR. Muslim)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر اللَّه تعالى وما والاه، وعالماً أو متعلماً رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Dunia itu terlaknat, dan isinya semua tercela kecuali dzikir kepada Allah ta'ala dan ketaatan kepada Allah, serta orang yang berilmu atau menuntut ilmu." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من خرج في طلب العلم فهو في سبيل اللَّه حتى يرجع رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Anas radhiyallahu'anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang berangkat dalam rangka menuntut ilmu maka sesungguhnya dia sedang dalam (berjihad) fi sabilillah hingga dia kembali." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أبي سعيد الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ عن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: لن يشبع مؤمن من خير حتى يكون منتهاه الجنة رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Seorang mukmin tidak akan pernah merasa kenyang melakukan kebaikan sampai tempat persinggahan terakhirnya tiba di surga." (HR. Tirmidzi dan dia berkata : hadits hasan)
عن أبي أمامة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: فضل العالم على العابد كفضلي على أدناكم ثم قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إن اللَّه وملائكته وأهل السماوات والأرض حتى النملة في جحرها وحتى الحوت ليصلون على معلمي الناس الخير رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Umamah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keutamaan orang 'alim dibandingkan dengan ahli ibadah adalah seperti halnya perumpamaan diriku dengan orang yang paling rendah di antara kalian (kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda) Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta penduduk bumi bahkan seekor semut di lubangnya dan bahkan ikan sekalipun akan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أبي الدرداء رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: من سلك طريقاً يبتغي فيه علماً سهل اللَّه له طريقاً إلى الجنة، وإن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضاً بما يصنع، وإن العالم ليستغفر له من في السماوات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء، وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب، وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورّثوا ديناراً ولا درهماً إنما ورّثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ.
Dari Abud-Darda' radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap perbuatan menuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu itu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang ada di langit maupun di bumi bahkan ikan yang berada di dalam air. Keutamaan orang alim atas orang yang ahli ibadah adalah sebagaimana bulan dibandingkan dengan seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang menyerap ilmu itu maka sungguh dia telah mendapatkan bagian jatah warisan yang sangat banyak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: نضّر اللَّه امرأ سمع منا شيئاً فبلغه كما سمعه فرب مبلغ أوعى من سامع رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صحيح.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sabda-sabdaku lalu dia menyampaikannya kepada orang lain seperti apa yang dia dengar. Terkadang orang yang diberitahu lebih paham daripada orang yang mendengar (yaitu yang menyampaikan tadi)." (HR. Tirimidzi, dia berkata : hadits hasan sahih)
عن أبي هريرة رَضيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian justru menyembunyikannya maka dia akan dijerat dengan tali dari api pada hari kiamat nanti." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من تعلم علماً مما يبتغى به وجه اللَّه عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها. رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بإسناد صحيح
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dipelajari demi mengharapkan wajah Allah 'azza wa jalla akan tetapi dengan ilmu itu dia justru menginginkan kesenangan dunia maka dia tidak akan bisa mencium bau surga pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dengan sanad sahih)
عن ابن عمرو بن العاص رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: إن اللَّه لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه من الناس، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبق عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu 'Amr bin Al-'Ash radhiyallahu'anhu dia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari umat manusia. Akan tetapi Allah akan mencabut ilmu (secara bertahap) dengan cara mewafatkan para ulama, hingga tiba saatnya tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Maka mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Dengan demikian jelaslah bagi para ulama dan ahli iman tentang betapa besar bahaya dan akibat buruk yang muncul apabila ulama yang baik sudah lenyap atau apabila mereka sengaja meninggalkan perannya dan malah memberikannya kepada orang lain. Dan tidaklah tersembunyi bagi kita bahwasanya apabila seorang alim itu -entah menjabat sebagai hakim atau yang lainnya- berijtihad dan benar niscaya dia akan memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan terjatuh dalam kesalahan maka dia mendapatkan satu pahala. Sebagaimana hal itu sudah tercantum dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka sebenarnya tidak ada bahaya bagi dirinya apabila dia senantiasa bersikap jujur, ikhlas dan serius mencari kebenaran. Yang dikhawatirkan sebenarnya ialah orang-orang yang menerjuni dunia peradilan dengan tidak sebagaimana mestinya, juga orang yang berfatwa dengan landasan kebodohan, atau orang yang mengadili dengan tindakan curang. Hal itu sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits Buraidah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Ada tiga macam hakim. Dua di antaranya berada di neraka dan satu berada di surga. Adapun yang berada di surga ialah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengannya. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran akan tetapi malah memutuskan perkara dengan curang maka dia berada di neraka. Kemudian seorang hakim yang memutuskan perkara di kalangan umat manusia dengan landasan kebodohan maka dia juga di neraka.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al Hakim) Adapun orang yang berusaha mencari kebenaran dan bersungguh-sungguh dalam menerapkannya serta mengusahakan tersebarnya manfaat bagi kaum muslimin maka dia berada di antara dua posisi; kalau tidak mendapat dua pahala, ya mendapat satu pahala, sebagaimana sudah diterangkan terdahulu di dalam hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Jagalah ketakwaan …

Syaikh bin Baz rahimahullah berpesan, "Kemudian aku juga hendak berpesan kepada seluruh saudaraku umat Islam secara umum serta kepada para ahli ilmu dan pelajar secara khusus begitu juga kepada diriku sendiri untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap urusan, juga untuk beramal dengan ilmu yang sudah kita miliki dengan cara menunaikan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah kepada kita dan supaya menjauhi berbagai hal yang diharamkan-Nya. Karena seorang penuntut ilmu adalah menjadi teladan bagi orang yang lainnya dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu pada semua kondisinya; baik tatkala di dalam sidang peradilan maupun bukan, ketika berada di jalan maupun ketika berada di rumahnya, dalam pergaulan dan perkumpulannya dengan sesama manusia, ketika mengendarai angkutan, ketika berada di bandara, dan dalam semua situasi yang dialaminya. Sehingga seharusnya dia adalah contoh dalam kebaikan. Wajib baginya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah subhanahu dan mendakwahi manusia untuk mengikuti kebaikan dengan perkataan dan perbuatannya secara beriringan. Sehingga dia akan tampak jelas di antara manusia dengan ilmu dan keutamaan yang dimilikinya dan perjalanan hidupnya yang lurus serta metode yang diterapkannya yang berada di atas manhaj Nabawi yang dititi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, semoga Allah meridhai mereka, dan mereka juga sangat menaruh perhatian yang dalam untuk memberikan kejelasan bagi umat tanpa diiringi maksud untuk menyombongkan diri di hadapan mereka."

"Seorang alim maupun bukan, maka sesungguhnya berada di tepi bahaya yang sangat menakutkan. Terkadang bahaya itu datang dari sisi riya’, dan terkadang dari sisi kesombongan, dan terkadang bersumber dari sebab yang lainnya atau maksud-maksud buruk lainnya. Maka kewajiban baginya adalah bertakwa kepada Allah dan mengikhlaskan amalan untuk-Nya. Dan hendaknya dia selalu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh urusannya. Dan hendaknya dia menjadi orang yang tawadhu’ di hadapan hamba-hamba Allah, tidak bersikap sombong kepada mereka dengan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada dirinya dan tidak diberikan kepada kebanyakan orang. Maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah karenanya. Dan salah satu bentuk syukur kepada Allah ialah dengan bersikap tawadhu’, tidak sombong. Termasuk bentuk syukur kepada Allah adalah menyebarkan ilmu di masjid-masjid atau di tempat-tempat lain…." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Pelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah

Syaikh bin Baz rahimahullah berpesan, "… Selain itu saya juga berpesan kepada saudara-saudaraku semuanya, terutama para ahli ilmu dan pelajar supaya menaruh perhatian besar terhadap Al-Qur’an Al-Karim. Karena ia adalah Kitab paling agung dan Kitab paling mulia yang telah memuat sebaik-baik ilmu pengetahuan dan ilmu yang paling bermanfaat seluruhnya, sebagaimana hal itu sudah tidak tersamar lagi. Al-Qur’an itulah pembantu terkuat sesudah Allah ‘azza wa jalla untuk bisa menopang upaya mendalami ilmu agama dan memahami seluk beluknya, dan juga untuk memupuk rasa takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia juga menjadi sarana pendukung dalam rangka meneladani orang-orang baik. Oleh sebab itu aku mewasiatkan kepada semuanya dan juga kepada diriku sendiri untuk menaruh perhatian besar terhadap Kitab yang agung ini dengan cara merenungkan dan memahami makna-maknanya serta untuk memperbanyak membacanya di waktu siang maupun malam. Dan hendaknya kita selalu kembali merujuk kepadanya dalam memecahkan segala urusan. Dan hendaknya menelaah perkataan-perkataan ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat yang belum dimengerti maksudnya, karena itu merupakan sarana terbaik untuk membantu memahami Kitabullah jalla wa ‘ala. Karena Kitab ini merupakan kitab yang terbaik, kitab yang paling utama dan kitab yang paling benar maka Allah Yang Maha suci pun berfirman tatkala mensifatinya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini akan menunjukkan kepada yang lebih lurus.” (QS. Al Israa’ : 9) Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi umat Islam.” (QS. An Nahl : 89) Allah jalla wa ‘ala juga berfirman, “Katakanlah : Ia (Al-Qur’an) merupakan petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat : 44) Allah Yang Maha suci juga berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang kami luputkan dari dalam Al-Kitab.” (QS. Al An’am : 38) Oleh sebab itulah maka sudah selayaknya bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat dan terutama bagi ahli ilmu untuk mempelajarinya dengan penuh perhatian dan menggigitnya dengan gigi-gigi geraham mereka, dan berusaha keras dalam merenungkan, memahami dan mengamalkan isinya, dan juga dengan melihat penafsiran-penafsiran yang diberikan para ulama tentang masalah yang terasa sulit dipahami. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh membawa barakah agar direnungkan ayat-ayatnya dan orang-orang yang berpikir mau mempelajarinya.” (QS. Shaad : 29) Allah subhanahu juga berfirman, “Apakah mereka tidak mau merenungkan Al-Qur’an, ataukah di atas hati mereka terdapat gembok-gembok yang menguncinya ?” (QS. Muhammad : 25)"

"Kemudian sesudah itu hendaknya ia juga mempelajari Sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, memperhatikan dan berusaha menghafalkan sebagiannya, sejauh yang mudah untuk dihafalkannya. Dengan tetap senantiasa memperbanyak mengulang dan menelaah hadits-haditsnya. Terutama hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah akidah serta perkara lain yang wajib dikerjakan oleh hamba yang sudah terkena beban syari’at. Dan juga mempelajari Sunnah Nabi tentang amal diri pribadinya sendiri, karena hal itu lebih dekat jangkauannya dan lebih wajib baginya untuk menaruh perhatian tentangnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah : Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31) Dan tidak ada jalan untuk bisa mengikuti beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sempurna melainkan dengan cara mempelajari hadits-hadits beliau, dengan menaruh perhatian terhadap hadits dan juga tetap menaruh perhatian terhadap Kitabullah ‘azza wa jalla secara beriringan. Aku nasihatkan kepada para ahli ilmu dan para pelajar agar mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab hadits, dengan banyak membacanya, mengajarkannya dan mengulang-ulangnya… " (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para Sahabatnya. Alhamdulillaahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat

Disusun ulang 20 Shafar 1428
Hamba yang membutuhkan ampunan Rabbnya


Abu Muslih Ari Wahyudi

Keutamaan Ilmu

Keutamaan Ilmu
Dalil Al-Qur'an
Allah ta'ala berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
"Katakanlah Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu." (QS. Thoha : 114)
Allah ta'ala berfirman,
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
"Katakanlah : apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu ?." (QS. Az-Zumar : 9)
Allah ta'ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan yang diberi ilmu." (QS. Al-Mujaadalah : 11)
Allah ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu." (QS. Fathir : 28)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Dan telah diketahui pula bahwasanya setiap muslim pasti memiliki rasa takut kepada Allah, setiap mukmin juga pasti merasa takut kepada Allah. Akan tetapi rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para ahli ilmu, dan pemuka tertinggi mereka ialah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam kemudian diikuti orang-orang sesudah mereka yaitu para ulama menurut tingkatan mereka masing-masing. Para ulama, mereka itulah pewaris para Nabi. Rasa takut kepada Allah adalah hak. Sedangkan rasa takut yang sempurna hanya ada pada diri ahli ilmu yang mengenal Allah dan memiliki bukti-bukti kuat tentang keesaan-Nya, dan mengetahui kesempurnaan Nama-nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya dan menyadari betapa agung hak yang dimiliki-Nya yang Maha suci lagi Maha tinggi. Dan para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam adalah orang-orang terdepan di antara mereka, kemudian diikuti sesudahnya oleh ahli ilmu dengan berbagai macam tingkatan pemahaman mereka dalam ilmu tentang Allah dan agama-Nya. Sudah sepantasnya bagi setiap alim dan penuntut ilmu untuk senantiasa memperhatikan perkara ini dan merasa takut kepada Allah di mana pun dia berada serta berusaha untuk terus mendekatkan dirinya kepada Allah dalam semua urusannya, baik dalam menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, menyebarkan ilmu dan dalam setiap aspek hak Allah dan hak hamba yang harus ditunaikan olehnya." (Fadhlul 'ilmu wa syarafu ahlihi)

Dalil As-Sunnah
عن معاوية رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من يرد اللَّه به خيراً يفقهه في الدين مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Mu'awiyah radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Ini menunjukkan bahwasanya salah satu ciri kebaikan dan tanda kebahagiaan ialah seorang hamba diberikan kepahaman dalam hal agama Allah. Setiap penuntut ilmu yang ikhlas di perguruan tinggi manapun atau di Ma’had ‘Ilmi manapun, atau di selain keduanya hendaknya menjadikan pemahaman seperti inilah yang dicari dan diinginkannya. Oleh sebab itu kita memohon kepada Allah supaya mereka mendapatkan taufik dan hidayah untuk menggapainya dan tercapai tujuan yang dicita-citakannya. Dan barangsiapa yang justru berpaling dari mempelajari ilmu agama maka itu merupakan salah satu ciri bahwa Allah menghendaki buruk pada dirinya, laa haula wa laa quwwata illa billaah." (Fadhlul 'ilmu wa syarafu ahlihi)
عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه اللَّه مالاً فسلطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه اللَّه الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara : seorang yang diberi karunia harta oleh Allah kemudian dia mempergunakannya dengan sebaik-baiknya dalam urusan yang benar dan seorang yang diberi karunia hikmah (ilmu) dan dia memutuskan urusan berdasarkan ilmu serta mengajarkannya kepada orang." (Muttafaq 'alaih) Imam Nawawi berkata : yang dimaksud dengan hasad di sini adalah ghibthah : yaitu keinginan untuk bisa berbuat baik seperti orang lain tersebut.
عن أبي موسى رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: مثل ما بعثني اللَّه به من الهدى والعلم كمثل غيث أصاب أرضاً فكانت منها طائفة طيبة قبلت الماء، فأنبتت الكلأ والعشب الكثير، وكان منها أجادب أمسكت الماء، فنفع اللَّه بها الناس فشربوا منها وسقوا وزرعوا، وأصاب طائفة منها أخرى إنما هي قيعان لا تمسك ماءً ولا تنبت كلأ؛ فذلك مثل من فقه في دين اللَّه ونفعه ما بعثني اللَّه به فعلم وعلّم، ومثل من لم يرفع بذلك رأساً ولم يقبل هدى اللَّه الذي أرسلت به مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diamanatkan kepadaku oleh Allah ialah sebagaimana air hujan yang menyirami bumi. Ada diantara tanahnya yang subur. Tanah itu mampu menyerap air dan kemudian menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak. Dan ada pula di sana tanah yang keras sehingga bisa menampung air dan dengan perantaranya Allah memberikan manfaat bagi umat manusia. Mereka minum, memberikan minum (untuk ternak) dan mengairi lahan pertanian dengannya. Dan air hujan itu juga turun menyirami bagian bumi yang lainnya, akan tetapi tanah itu tandus lagi licin sehingga tidak mampu menahan air serta tidak bisa menumbuhkan tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah dan dapat memetik manfaat dari ajaran Allah yang diamanatkan kepadaku, dia mengetahui dan mengajarkan ilmunya dan perumpamaan orang yang tidak mau ambil peduli serta tidak menerima petunjuk Allah yang diamanatkan kepadaku." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, " Maka para ulama yang mendapatkan taufik untuk mengemban ilmu ini terbagi ke dalam dua tingkatan : Tingkatan Pertama ialah mereka yang berhasil meraih ilmu, bisa mengamalkannya, terus mendalaminya dan mengambil berbagai macam kesimpulan hukum, sehingga mereka pun terlahir menjadi para Hafizh (penghafal hadits) dan Fuqaha/Ahli Fikih. Mereka menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang-orang, dan mereka bisa memahamkan orang lain, memberikan pencerahan dan faidah kepada mereka. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai mu’allim (pengajar) dan ada yang menjadi muqri’ (pembaca), serta ada juga yang menjadi da’i ilallah ‘azza wa jalla atau menjadi mudarris (guru) yang mengajarkan ilmu…, dan profesi-profesi lainnya yang merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan penularan pemahaman. Adapun Tingkatan Kedua ialah : mereka itu adalah orang-orang yang menghafalkan dan menukilkannya kepada orang lain yang sudah dibukakan pemahaman ilmu baginya, sehingga orang itu bisa menarik berbagai kesimpulan hukum dari berita yang didapatkannya itu. Maka dengan begitu kedua kelompok ini sama-sama memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar dan melimpah serta bisa memberikan manfaat luas kepada umat. Adapun kebanyakan orang yang ada, perumpamaan mereka itu ialah seperti tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan tidak mampu menumbuhkan rerumputan. Itu terjadi disebabkan karena mereka berpaling, lalai serta tidak mau menaruh perhatian terhadap ilmu." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Beliau juga berkata, "Oleh sebab itu maka para ulama dan penuntut ilmu yang aktif dalam berbagai aktifitas penyebaran ilmu syar’i memiliki kebaikan yang sangat banyak serta berada di atas jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah untuk itu. Dan itu hanya berlaku bagi orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk bisa mengikhlaskan niat dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga datanglah para penuntut ilmu syar’i secara beramai-ramai untuk mendalami agama Allah dan berjuang untuk bisa meraih pencerahan dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang meliputi petunjuk dan ilmu pengetahuan. Dan hendaknya mereka saling berlomba untuk menuntutnya. Dan juga hendaknya mereka bersabar dalam meniti jalan tersebut, karena mereka harus bertemu dengan rasa letih dan menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya ilmu itu tidak akan bisa digapai apabila dicari dengan tubuh yang selalu santai-santai. Akan tetapi sangat dibutuhkan kesungguh-sungguhan, kesabaran, dan berani merasakan keletihan. Inilah yang diucapkan oleh Imam Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahih beliau dalam bab-bab tentang Mawaqit (Waktu-Waktu Shalat) yang terdapat di dalam Kitab Shalat. Ketika beliau membawakan sekian banyak sanad, di antara riwayat yang beliau sebutkan adalah perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah. Yahya mengatakan, “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” Maksud beliau rahimahullah dengan ungkapan ini ialah sebagai catatan yang harus diingat bahwasanya untuk menggali ilmu dan mendalami agama itu sangat diperlukan kesabaran dan keteguhan. Selain itu dibutuhkan juga curahan perhatian dan pemeliharaan waktu dan senantiasa harus diiringi dengan keikhlasan dalam beramal karena Allah dan menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)
Beliau melanjutkan keterangannya, "Oleh karena itu maka keberadaan berbagai kegiatan daurah ilmiah yang di dalamnya diajarkan ilmu syar’i dan juga keberadaan masjid-masjid yang di sana diadakan berbagai halaqah ilmiah syar’iyah memiliki peranan yang sangat penting. Faidah yang bisa digali darinya juga amat besar. Karena sarana-sarana seperti itu memang dipersiapkan untuk menyebarkan manfaat bagi orang banyak dan bisa menguraikan berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Orang-orang yang telah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu sangat diharapkan sudah berhasil meraih kebaikan dan pelajaran yang banyak serta manfaat yang bisa disebarluaskan. Tidaklah seyogyanya bagi orang yang sudah diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah kemudian dia justru memisahkan diri dari upaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia dan tidak ikut berusaha menanamkan pemahaman agama kepada mereka atau mengingatkan mereka tentang Allah, hak-Nya serta hak hamba-hamba-Nya. Dia bisa saja menempuh cara mengajar, atau melalui pengambilan keputusan peradilan, atau dengan memberikan nasihat dan peringatan, atau sekedar saling mengingat-ingat isi pelajaran bersama sahabat-sahabat dan saudara-saudaranya di dalam berbagai arena pertemuan yang bersifat umum maupun yang khusus."

"Demikian pula sudah semestinya bagi para ulama untuk turut bergabung dalam upaya menyebarkan ilmu melalui berbagai media informasi yang tersedia, karena dengan cara itu faidah yang didapatkan darinya akan sangat besar dan juga ilmu yang disampaikan akan bisa menjangkau segala penjuru bumi sejauh yang dikehendaki oleh Allah. Kebaikan sangat besar yang dicapai dengan menempuh metode semacam itu sudah sangat diketahui. Begitu pula dengan cara demikian maka kaum muslimin yang bisa merasakan manfaatnya semakin bertambah luas, terlebih lagi pada masa ini kebutuhan akan hal itu adalah sangat mendesak, bahkan di sepanjang masa hal itu selalu diperlukan. Hanya saja pada masa kita sekarang ini kebutuhan itu semakin memuncak karena begitu sedikitnya ilmu yang tersebar dan betapa banyaknya ajakan yang ditebarkan oleh para penyeru kebatilan. Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi orang yang diberikan rizki ilmu oleh Allah untuk berani mengambil resiko dan menanggung beban kesulitan untuk berupaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak melalui media-media tersebut. Baik dengan cara ikut andil dalam mengambil keputusan peradilan, memberikan pengajaran, mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla maupun cara lainnya yang menyangkut urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga akan tercapailah manfaat yang begitu besar dan buah yang sangat agung sebagai hasil dari upaya ini." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

عن سهل بن سعد رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال لعليّ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ: فوالله لأن يهدي اللَّه بك رجلاً واحداً خير لك من حمر النعم مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Ali radhiyallahu'anhu : "Demi Allah, sesungguhnya apabila Allah memberikan hidayah seseorang melalui tanganmu itu lebih baik bagimu daripada unta-unta yang merah." (Muttafaq 'alaih)
عن عبد اللَّه بن عمرو بن العاص رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Dari 'Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sampaikanlah dariku, meskipun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah berita dari Bani Isra'il tanpa perlu merasa berat. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari)
عن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: ومن سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل اللَّه له طريقاً إلى الجنة رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
عنه أيضاً رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: من دعا إلى هدىً كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئاً رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengajak menuju petunjuk maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikuti ajakannya, dan hal itu tidaklah mengurangi pahala-pahala mereka barang sedikitpun." (HR. Muslim)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila anak Adam meninggal maka akan terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan orang tuanya." (HR. Muslim)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر اللَّه تعالى وما والاه، وعالماً أو متعلماً رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Dunia itu terlaknat, dan isinya semua tercela kecuali dzikir kepada Allah ta'ala dan ketaatan kepada Allah, serta orang yang berilmu atau menuntut ilmu." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من خرج في طلب العلم فهو في سبيل اللَّه حتى يرجع رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Anas radhiyallahu'anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang berangkat dalam rangka menuntut ilmu maka sesungguhnya dia sedang dalam (berjihad) fi sabilillah hingga dia kembali." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أبي سعيد الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ عن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: لن يشبع مؤمن من خير حتى يكون منتهاه الجنة رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Seorang mukmin tidak akan pernah merasa kenyang melakukan kebaikan sampai tempat persinggahan terakhirnya tiba di surga." (HR. Tirmidzi dan dia berkata : hadits hasan)
عن أبي أمامة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: فضل العالم على العابد كفضلي على أدناكم ثم قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إن اللَّه وملائكته وأهل السماوات والأرض حتى النملة في جحرها وحتى الحوت ليصلون على معلمي الناس الخير رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Umamah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keutamaan orang 'alim dibandingkan dengan ahli ibadah adalah seperti halnya perumpamaan diriku dengan orang yang paling rendah di antara kalian (kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda) Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta penduduk bumi bahkan seekor semut di lubangnya dan bahkan ikan sekalipun akan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أبي الدرداء رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: من سلك طريقاً يبتغي فيه علماً سهل اللَّه له طريقاً إلى الجنة، وإن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضاً بما يصنع، وإن العالم ليستغفر له من في السماوات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء، وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب، وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورّثوا ديناراً ولا درهماً إنما ورّثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ.
Dari Abud-Darda' radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap perbuatan menuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu itu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang ada di langit maupun di bumi bahkan ikan yang berada di dalam air. Keutamaan orang alim atas orang yang ahli ibadah adalah sebagaimana bulan dibandingkan dengan seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang menyerap ilmu itu maka sungguh dia telah mendapatkan bagian jatah warisan yang sangat banyak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: نضّر اللَّه امرأ سمع منا شيئاً فبلغه كما سمعه فرب مبلغ أوعى من سامع رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صحيح.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sabda-sabdaku lalu dia menyampaikannya kepada orang lain seperti apa yang dia dengar. Terkadang orang yang diberitahu lebih paham daripada orang yang mendengar (yaitu yang menyampaikan tadi)." (HR. Tirimidzi, dia berkata : hadits hasan sahih)
عن أبي هريرة رَضيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian justru menyembunyikannya maka dia akan dijerat dengan tali dari api pada hari kiamat nanti." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من تعلم علماً مما يبتغى به وجه اللَّه عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها. رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بإسناد صحيح
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dipelajari demi mengharapkan wajah Allah 'azza wa jalla akan tetapi dengan ilmu itu dia justru menginginkan kesenangan dunia maka dia tidak akan bisa mencium bau surga pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dengan sanad sahih)
عن ابن عمرو بن العاص رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: إن اللَّه لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه من الناس، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبق عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu 'Amr bin Al-'Ash radhiyallahu'anhu dia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari umat manusia. Akan tetapi Allah akan mencabut ilmu (secara bertahap) dengan cara mewafatkan para ulama, hingga tiba saatnya tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Maka mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Dengan demikian jelaslah bagi para ulama dan ahli iman tentang betapa besar bahaya dan akibat buruk yang muncul apabila ulama yang baik sudah lenyap atau apabila mereka sengaja meninggalkan perannya dan malah memberikannya kepada orang lain. Dan tidaklah tersembunyi bagi kita bahwasanya apabila seorang alim itu -entah menjabat sebagai hakim atau yang lainnya- berijtihad dan benar niscaya dia akan memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan terjatuh dalam kesalahan maka dia mendapatkan satu pahala. Sebagaimana hal itu sudah tercantum dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka sebenarnya tidak ada bahaya bagi dirinya apabila dia senantiasa bersikap jujur, ikhlas dan serius mencari kebenaran. Yang dikhawatirkan sebenarnya ialah orang-orang yang menerjuni dunia peradilan dengan tidak sebagaimana mestinya, juga orang yang berfatwa dengan landasan kebodohan, atau orang yang mengadili dengan tindakan curang. Hal itu sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits Buraidah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Ada tiga macam hakim. Dua di antaranya berada di neraka dan satu berada di surga. Adapun yang berada di surga ialah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengannya. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran akan tetapi malah memutuskan perkara dengan curang maka dia berada di neraka. Kemudian seorang hakim yang memutuskan perkara di kalangan umat manusia dengan landasan kebodohan maka dia juga di neraka.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al Hakim) Adapun orang yang berusaha mencari kebenaran dan bersungguh-sungguh dalam menerapkannya serta mengusahakan tersebarnya manfaat bagi kaum muslimin maka dia berada di antara dua posisi; kalau tidak mendapat dua pahala, ya mendapat satu pahala, sebagaimana sudah diterangkan terdahulu di dalam hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Jagalah ketakwaan …

Syaikh bin Baz rahimahullah berpesan, "Kemudian aku juga hendak berpesan kepada seluruh saudaraku umat Islam secara umum serta kepada para ahli ilmu dan pelajar secara khusus begitu juga kepada diriku sendiri untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap urusan, juga untuk beramal dengan ilmu yang sudah kita miliki dengan cara menunaikan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah kepada kita dan supaya menjauhi berbagai hal yang diharamkan-Nya. Karena seorang penuntut ilmu adalah menjadi teladan bagi orang yang lainnya dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu pada semua kondisinya; baik tatkala di dalam sidang peradilan maupun bukan, ketika berada di jalan maupun ketika berada di rumahnya, dalam pergaulan dan perkumpulannya dengan sesama manusia, ketika mengendarai angkutan, ketika berada di bandara, dan dalam semua situasi yang dialaminya. Sehingga seharusnya dia adalah contoh dalam kebaikan. Wajib baginya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah subhanahu dan mendakwahi manusia untuk mengikuti kebaikan dengan perkataan dan perbuatannya secara beriringan. Sehingga dia akan tampak jelas di antara manusia dengan ilmu dan keutamaan yang dimilikinya dan perjalanan hidupnya yang lurus serta metode yang diterapkannya yang berada di atas manhaj Nabawi yang dititi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, semoga Allah meridhai mereka, dan mereka juga sangat menaruh perhatian yang dalam untuk memberikan kejelasan bagi umat tanpa diiringi maksud untuk menyombongkan diri di hadapan mereka."

"Seorang alim maupun bukan, maka sesungguhnya berada di tepi bahaya yang sangat menakutkan. Terkadang bahaya itu datang dari sisi riya’, dan terkadang dari sisi kesombongan, dan terkadang bersumber dari sebab yang lainnya atau maksud-maksud buruk lainnya. Maka kewajiban baginya adalah bertakwa kepada Allah dan mengikhlaskan amalan untuk-Nya. Dan hendaknya dia selalu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh urusannya. Dan hendaknya dia menjadi orang yang tawadhu’ di hadapan hamba-hamba Allah, tidak bersikap sombong kepada mereka dengan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada dirinya dan tidak diberikan kepada kebanyakan orang. Maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah karenanya. Dan salah satu bentuk syukur kepada Allah ialah dengan bersikap tawadhu’, tidak sombong. Termasuk bentuk syukur kepada Allah adalah menyebarkan ilmu di masjid-masjid atau di tempat-tempat lain…." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Pelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah

Syaikh bin Baz rahimahullah berpesan, "… Selain itu saya juga berpesan kepada saudara-saudaraku semuanya, terutama para ahli ilmu dan pelajar supaya menaruh perhatian besar terhadap Al-Qur’an Al-Karim. Karena ia adalah Kitab paling agung dan Kitab paling mulia yang telah memuat sebaik-baik ilmu pengetahuan dan ilmu yang paling bermanfaat seluruhnya, sebagaimana hal itu sudah tidak tersamar lagi. Al-Qur’an itulah pembantu terkuat sesudah Allah ‘azza wa jalla untuk bisa menopang upaya mendalami ilmu agama dan memahami seluk beluknya, dan juga untuk memupuk rasa takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia juga menjadi sarana pendukung dalam rangka meneladani orang-orang baik. Oleh sebab itu aku mewasiatkan kepada semuanya dan juga kepada diriku sendiri untuk menaruh perhatian besar terhadap Kitab yang agung ini dengan cara merenungkan dan memahami makna-maknanya serta untuk memperbanyak membacanya di waktu siang maupun malam. Dan hendaknya kita selalu kembali merujuk kepadanya dalam memecahkan segala urusan. Dan hendaknya menelaah perkataan-perkataan ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat yang belum dimengerti maksudnya, karena itu merupakan sarana terbaik untuk membantu memahami Kitabullah jalla wa ‘ala. Karena Kitab ini merupakan kitab yang terbaik, kitab yang paling utama dan kitab yang paling benar maka Allah Yang Maha suci pun berfirman tatkala mensifatinya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini akan menunjukkan kepada yang lebih lurus.” (QS. Al Israa’ : 9) Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi umat Islam.” (QS. An Nahl : 89) Allah jalla wa ‘ala juga berfirman, “Katakanlah : Ia (Al-Qur’an) merupakan petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat : 44) Allah Yang Maha suci juga berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang kami luputkan dari dalam Al-Kitab.” (QS. Al An’am : 38) Oleh sebab itulah maka sudah selayaknya bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat dan terutama bagi ahli ilmu untuk mempelajarinya dengan penuh perhatian dan menggigitnya dengan gigi-gigi geraham mereka, dan berusaha keras dalam merenungkan, memahami dan mengamalkan isinya, dan juga dengan melihat penafsiran-penafsiran yang diberikan para ulama tentang masalah yang terasa sulit dipahami. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh membawa barakah agar direnungkan ayat-ayatnya dan orang-orang yang berpikir mau mempelajarinya.” (QS. Shaad : 29) Allah subhanahu juga berfirman, “Apakah mereka tidak mau merenungkan Al-Qur’an, ataukah di atas hati mereka terdapat gembok-gembok yang menguncinya ?” (QS. Muhammad : 25)"

"Kemudian sesudah itu hendaknya ia juga mempelajari Sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, memperhatikan dan berusaha menghafalkan sebagiannya, sejauh yang mudah untuk dihafalkannya. Dengan tetap senantiasa memperbanyak mengulang dan menelaah hadits-haditsnya. Terutama hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah akidah serta perkara lain yang wajib dikerjakan oleh hamba yang sudah terkena beban syari’at. Dan juga mempelajari Sunnah Nabi tentang amal diri pribadinya sendiri, karena hal itu lebih dekat jangkauannya dan lebih wajib baginya untuk menaruh perhatian tentangnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah : Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31) Dan tidak ada jalan untuk bisa mengikuti beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sempurna melainkan dengan cara mempelajari hadits-hadits beliau, dengan menaruh perhatian terhadap hadits dan juga tetap menaruh perhatian terhadap Kitabullah ‘azza wa jalla secara beriringan. Aku nasihatkan kepada para ahli ilmu dan para pelajar agar mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab hadits, dengan banyak membacanya, mengajarkannya dan mengulang-ulangnya… " (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para Sahabatnya. Alhamdulillaahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat

Disusun ulang 20 Shafar 1428
Hamba yang membutuhkan ampunan Rabbnya


Abu Muslih Ari Wahyudi

Keutamaan Ilmu

Keutamaan Ilmu
Dalil Al-Qur'an
Allah ta'ala berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
"Katakanlah Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu." (QS. Thoha : 114)
Allah ta'ala berfirman,
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
"Katakanlah : apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu ?." (QS. Az-Zumar : 9)
Allah ta'ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan yang diberi ilmu." (QS. Al-Mujaadalah : 11)
Allah ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu." (QS. Fathir : 28)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Dan telah diketahui pula bahwasanya setiap muslim pasti memiliki rasa takut kepada Allah, setiap mukmin juga pasti merasa takut kepada Allah. Akan tetapi rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para ahli ilmu, dan pemuka tertinggi mereka ialah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam kemudian diikuti orang-orang sesudah mereka yaitu para ulama menurut tingkatan mereka masing-masing. Para ulama, mereka itulah pewaris para Nabi. Rasa takut kepada Allah adalah hak. Sedangkan rasa takut yang sempurna hanya ada pada diri ahli ilmu yang mengenal Allah dan memiliki bukti-bukti kuat tentang keesaan-Nya, dan mengetahui kesempurnaan Nama-nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya dan menyadari betapa agung hak yang dimiliki-Nya yang Maha suci lagi Maha tinggi. Dan para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam adalah orang-orang terdepan di antara mereka, kemudian diikuti sesudahnya oleh ahli ilmu dengan berbagai macam tingkatan pemahaman mereka dalam ilmu tentang Allah dan agama-Nya. Sudah sepantasnya bagi setiap alim dan penuntut ilmu untuk senantiasa memperhatikan perkara ini dan merasa takut kepada Allah di mana pun dia berada serta berusaha untuk terus mendekatkan dirinya kepada Allah dalam semua urusannya, baik dalam menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, menyebarkan ilmu dan dalam setiap aspek hak Allah dan hak hamba yang harus ditunaikan olehnya." (Fadhlul 'ilmu wa syarafu ahlihi)

Dalil As-Sunnah
عن معاوية رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من يرد اللَّه به خيراً يفقهه في الدين مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Mu'awiyah radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Ini menunjukkan bahwasanya salah satu ciri kebaikan dan tanda kebahagiaan ialah seorang hamba diberikan kepahaman dalam hal agama Allah. Setiap penuntut ilmu yang ikhlas di perguruan tinggi manapun atau di Ma’had ‘Ilmi manapun, atau di selain keduanya hendaknya menjadikan pemahaman seperti inilah yang dicari dan diinginkannya. Oleh sebab itu kita memohon kepada Allah supaya mereka mendapatkan taufik dan hidayah untuk menggapainya dan tercapai tujuan yang dicita-citakannya. Dan barangsiapa yang justru berpaling dari mempelajari ilmu agama maka itu merupakan salah satu ciri bahwa Allah menghendaki buruk pada dirinya, laa haula wa laa quwwata illa billaah." (Fadhlul 'ilmu wa syarafu ahlihi)
عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه اللَّه مالاً فسلطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه اللَّه الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara : seorang yang diberi karunia harta oleh Allah kemudian dia mempergunakannya dengan sebaik-baiknya dalam urusan yang benar dan seorang yang diberi karunia hikmah (ilmu) dan dia memutuskan urusan berdasarkan ilmu serta mengajarkannya kepada orang." (Muttafaq 'alaih) Imam Nawawi berkata : yang dimaksud dengan hasad di sini adalah ghibthah : yaitu keinginan untuk bisa berbuat baik seperti orang lain tersebut.
عن أبي موسى رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: مثل ما بعثني اللَّه به من الهدى والعلم كمثل غيث أصاب أرضاً فكانت منها طائفة طيبة قبلت الماء، فأنبتت الكلأ والعشب الكثير، وكان منها أجادب أمسكت الماء، فنفع اللَّه بها الناس فشربوا منها وسقوا وزرعوا، وأصاب طائفة منها أخرى إنما هي قيعان لا تمسك ماءً ولا تنبت كلأ؛ فذلك مثل من فقه في دين اللَّه ونفعه ما بعثني اللَّه به فعلم وعلّم، ومثل من لم يرفع بذلك رأساً ولم يقبل هدى اللَّه الذي أرسلت به مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diamanatkan kepadaku oleh Allah ialah sebagaimana air hujan yang menyirami bumi. Ada diantara tanahnya yang subur. Tanah itu mampu menyerap air dan kemudian menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak. Dan ada pula di sana tanah yang keras sehingga bisa menampung air dan dengan perantaranya Allah memberikan manfaat bagi umat manusia. Mereka minum, memberikan minum (untuk ternak) dan mengairi lahan pertanian dengannya. Dan air hujan itu juga turun menyirami bagian bumi yang lainnya, akan tetapi tanah itu tandus lagi licin sehingga tidak mampu menahan air serta tidak bisa menumbuhkan tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah dan dapat memetik manfaat dari ajaran Allah yang diamanatkan kepadaku, dia mengetahui dan mengajarkan ilmunya dan perumpamaan orang yang tidak mau ambil peduli serta tidak menerima petunjuk Allah yang diamanatkan kepadaku." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, " Maka para ulama yang mendapatkan taufik untuk mengemban ilmu ini terbagi ke dalam dua tingkatan : Tingkatan Pertama ialah mereka yang berhasil meraih ilmu, bisa mengamalkannya, terus mendalaminya dan mengambil berbagai macam kesimpulan hukum, sehingga mereka pun terlahir menjadi para Hafizh (penghafal hadits) dan Fuqaha/Ahli Fikih. Mereka menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang-orang, dan mereka bisa memahamkan orang lain, memberikan pencerahan dan faidah kepada mereka. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai mu’allim (pengajar) dan ada yang menjadi muqri’ (pembaca), serta ada juga yang menjadi da’i ilallah ‘azza wa jalla atau menjadi mudarris (guru) yang mengajarkan ilmu…, dan profesi-profesi lainnya yang merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan penularan pemahaman. Adapun Tingkatan Kedua ialah : mereka itu adalah orang-orang yang menghafalkan dan menukilkannya kepada orang lain yang sudah dibukakan pemahaman ilmu baginya, sehingga orang itu bisa menarik berbagai kesimpulan hukum dari berita yang didapatkannya itu. Maka dengan begitu kedua kelompok ini sama-sama memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar dan melimpah serta bisa memberikan manfaat luas kepada umat. Adapun kebanyakan orang yang ada, perumpamaan mereka itu ialah seperti tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan tidak mampu menumbuhkan rerumputan. Itu terjadi disebabkan karena mereka berpaling, lalai serta tidak mau menaruh perhatian terhadap ilmu." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Beliau juga berkata, "Oleh sebab itu maka para ulama dan penuntut ilmu yang aktif dalam berbagai aktifitas penyebaran ilmu syar’i memiliki kebaikan yang sangat banyak serta berada di atas jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah untuk itu. Dan itu hanya berlaku bagi orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk bisa mengikhlaskan niat dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga datanglah para penuntut ilmu syar’i secara beramai-ramai untuk mendalami agama Allah dan berjuang untuk bisa meraih pencerahan dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang meliputi petunjuk dan ilmu pengetahuan. Dan hendaknya mereka saling berlomba untuk menuntutnya. Dan juga hendaknya mereka bersabar dalam meniti jalan tersebut, karena mereka harus bertemu dengan rasa letih dan menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya ilmu itu tidak akan bisa digapai apabila dicari dengan tubuh yang selalu santai-santai. Akan tetapi sangat dibutuhkan kesungguh-sungguhan, kesabaran, dan berani merasakan keletihan. Inilah yang diucapkan oleh Imam Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahih beliau dalam bab-bab tentang Mawaqit (Waktu-Waktu Shalat) yang terdapat di dalam Kitab Shalat. Ketika beliau membawakan sekian banyak sanad, di antara riwayat yang beliau sebutkan adalah perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah. Yahya mengatakan, “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” Maksud beliau rahimahullah dengan ungkapan ini ialah sebagai catatan yang harus diingat bahwasanya untuk menggali ilmu dan mendalami agama itu sangat diperlukan kesabaran dan keteguhan. Selain itu dibutuhkan juga curahan perhatian dan pemeliharaan waktu dan senantiasa harus diiringi dengan keikhlasan dalam beramal karena Allah dan menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)
Beliau melanjutkan keterangannya, "Oleh karena itu maka keberadaan berbagai kegiatan daurah ilmiah yang di dalamnya diajarkan ilmu syar’i dan juga keberadaan masjid-masjid yang di sana diadakan berbagai halaqah ilmiah syar’iyah memiliki peranan yang sangat penting. Faidah yang bisa digali darinya juga amat besar. Karena sarana-sarana seperti itu memang dipersiapkan untuk menyebarkan manfaat bagi orang banyak dan bisa menguraikan berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Orang-orang yang telah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu sangat diharapkan sudah berhasil meraih kebaikan dan pelajaran yang banyak serta manfaat yang bisa disebarluaskan. Tidaklah seyogyanya bagi orang yang sudah diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah kemudian dia justru memisahkan diri dari upaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia dan tidak ikut berusaha menanamkan pemahaman agama kepada mereka atau mengingatkan mereka tentang Allah, hak-Nya serta hak hamba-hamba-Nya. Dia bisa saja menempuh cara mengajar, atau melalui pengambilan keputusan peradilan, atau dengan memberikan nasihat dan peringatan, atau sekedar saling mengingat-ingat isi pelajaran bersama sahabat-sahabat dan saudara-saudaranya di dalam berbagai arena pertemuan yang bersifat umum maupun yang khusus."

"Demikian pula sudah semestinya bagi para ulama untuk turut bergabung dalam upaya menyebarkan ilmu melalui berbagai media informasi yang tersedia, karena dengan cara itu faidah yang didapatkan darinya akan sangat besar dan juga ilmu yang disampaikan akan bisa menjangkau segala penjuru bumi sejauh yang dikehendaki oleh Allah. Kebaikan sangat besar yang dicapai dengan menempuh metode semacam itu sudah sangat diketahui. Begitu pula dengan cara demikian maka kaum muslimin yang bisa merasakan manfaatnya semakin bertambah luas, terlebih lagi pada masa ini kebutuhan akan hal itu adalah sangat mendesak, bahkan di sepanjang masa hal itu selalu diperlukan. Hanya saja pada masa kita sekarang ini kebutuhan itu semakin memuncak karena begitu sedikitnya ilmu yang tersebar dan betapa banyaknya ajakan yang ditebarkan oleh para penyeru kebatilan. Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi orang yang diberikan rizki ilmu oleh Allah untuk berani mengambil resiko dan menanggung beban kesulitan untuk berupaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak melalui media-media tersebut. Baik dengan cara ikut andil dalam mengambil keputusan peradilan, memberikan pengajaran, mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla maupun cara lainnya yang menyangkut urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga akan tercapailah manfaat yang begitu besar dan buah yang sangat agung sebagai hasil dari upaya ini." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

عن سهل بن سعد رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال لعليّ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ: فوالله لأن يهدي اللَّه بك رجلاً واحداً خير لك من حمر النعم مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Ali radhiyallahu'anhu : "Demi Allah, sesungguhnya apabila Allah memberikan hidayah seseorang melalui tanganmu itu lebih baik bagimu daripada unta-unta yang merah." (Muttafaq 'alaih)
عن عبد اللَّه بن عمرو بن العاص رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Dari 'Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sampaikanlah dariku, meskipun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah berita dari Bani Isra'il tanpa perlu merasa berat. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari)
عن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: ومن سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل اللَّه له طريقاً إلى الجنة رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
عنه أيضاً رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: من دعا إلى هدىً كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئاً رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengajak menuju petunjuk maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikuti ajakannya, dan hal itu tidaklah mengurangi pahala-pahala mereka barang sedikitpun." (HR. Muslim)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila anak Adam meninggal maka akan terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan orang tuanya." (HR. Muslim)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر اللَّه تعالى وما والاه، وعالماً أو متعلماً رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Dunia itu terlaknat, dan isinya semua tercela kecuali dzikir kepada Allah ta'ala dan ketaatan kepada Allah, serta orang yang berilmu atau menuntut ilmu." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من خرج في طلب العلم فهو في سبيل اللَّه حتى يرجع رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Anas radhiyallahu'anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang berangkat dalam rangka menuntut ilmu maka sesungguhnya dia sedang dalam (berjihad) fi sabilillah hingga dia kembali." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أبي سعيد الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ عن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: لن يشبع مؤمن من خير حتى يكون منتهاه الجنة رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Seorang mukmin tidak akan pernah merasa kenyang melakukan kebaikan sampai tempat persinggahan terakhirnya tiba di surga." (HR. Tirmidzi dan dia berkata : hadits hasan)
عن أبي أمامة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: فضل العالم على العابد كفضلي على أدناكم ثم قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إن اللَّه وملائكته وأهل السماوات والأرض حتى النملة في جحرها وحتى الحوت ليصلون على معلمي الناس الخير رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Umamah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keutamaan orang 'alim dibandingkan dengan ahli ibadah adalah seperti halnya perumpamaan diriku dengan orang yang paling rendah di antara kalian (kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda) Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta penduduk bumi bahkan seekor semut di lubangnya dan bahkan ikan sekalipun akan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia." (HR. Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عن أبي الدرداء رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: من سلك طريقاً يبتغي فيه علماً سهل اللَّه له طريقاً إلى الجنة، وإن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضاً بما يصنع، وإن العالم ليستغفر له من في السماوات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء، وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب، وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورّثوا ديناراً ولا درهماً إنما ورّثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ.
Dari Abud-Darda' radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap perbuatan menuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu itu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang ada di langit maupun di bumi bahkan ikan yang berada di dalam air. Keutamaan orang alim atas orang yang ahli ibadah adalah sebagaimana bulan dibandingkan dengan seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang menyerap ilmu itu maka sungguh dia telah mendapatkan bagian jatah warisan yang sangat banyak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: نضّر اللَّه امرأ سمع منا شيئاً فبلغه كما سمعه فرب مبلغ أوعى من سامع رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صحيح.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu beliau berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sabda-sabdaku lalu dia menyampaikannya kepada orang lain seperti apa yang dia dengar. Terkadang orang yang diberitahu lebih paham daripada orang yang mendengar (yaitu yang menyampaikan tadi)." (HR. Tirimidzi, dia berkata : hadits hasan sahih)
عن أبي هريرة رَضيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian justru menyembunyikannya maka dia akan dijerat dengan tali dari api pada hari kiamat nanti." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia berkata : hadits hasan)
عنه رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: من تعلم علماً مما يبتغى به وجه اللَّه عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها. رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بإسناد صحيح
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dipelajari demi mengharapkan wajah Allah 'azza wa jalla akan tetapi dengan ilmu itu dia justru menginginkan kesenangan dunia maka dia tidak akan bisa mencium bau surga pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dengan sanad sahih)
عن ابن عمرو بن العاص رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: إن اللَّه لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه من الناس، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبق عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu 'Amr bin Al-'Ash radhiyallahu'anhu dia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari umat manusia. Akan tetapi Allah akan mencabut ilmu (secara bertahap) dengan cara mewafatkan para ulama, hingga tiba saatnya tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Maka mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, "Dengan demikian jelaslah bagi para ulama dan ahli iman tentang betapa besar bahaya dan akibat buruk yang muncul apabila ulama yang baik sudah lenyap atau apabila mereka sengaja meninggalkan perannya dan malah memberikannya kepada orang lain. Dan tidaklah tersembunyi bagi kita bahwasanya apabila seorang alim itu -entah menjabat sebagai hakim atau yang lainnya- berijtihad dan benar niscaya dia akan memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan terjatuh dalam kesalahan maka dia mendapatkan satu pahala. Sebagaimana hal itu sudah tercantum dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka sebenarnya tidak ada bahaya bagi dirinya apabila dia senantiasa bersikap jujur, ikhlas dan serius mencari kebenaran. Yang dikhawatirkan sebenarnya ialah orang-orang yang menerjuni dunia peradilan dengan tidak sebagaimana mestinya, juga orang yang berfatwa dengan landasan kebodohan, atau orang yang mengadili dengan tindakan curang. Hal itu sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits Buraidah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Ada tiga macam hakim. Dua di antaranya berada di neraka dan satu berada di surga. Adapun yang berada di surga ialah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengannya. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran akan tetapi malah memutuskan perkara dengan curang maka dia berada di neraka. Kemudian seorang hakim yang memutuskan perkara di kalangan umat manusia dengan landasan kebodohan maka dia juga di neraka.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al Hakim) Adapun orang yang berusaha mencari kebenaran dan bersungguh-sungguh dalam menerapkannya serta mengusahakan tersebarnya manfaat bagi kaum muslimin maka dia berada di antara dua posisi; kalau tidak mendapat dua pahala, ya mendapat satu pahala, sebagaimana sudah diterangkan terdahulu di dalam hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Jagalah ketakwaan …

Syaikh bin Baz rahimahullah berpesan, "Kemudian aku juga hendak berpesan kepada seluruh saudaraku umat Islam secara umum serta kepada para ahli ilmu dan pelajar secara khusus begitu juga kepada diriku sendiri untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap urusan, juga untuk beramal dengan ilmu yang sudah kita miliki dengan cara menunaikan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah kepada kita dan supaya menjauhi berbagai hal yang diharamkan-Nya. Karena seorang penuntut ilmu adalah menjadi teladan bagi orang yang lainnya dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu pada semua kondisinya; baik tatkala di dalam sidang peradilan maupun bukan, ketika berada di jalan maupun ketika berada di rumahnya, dalam pergaulan dan perkumpulannya dengan sesama manusia, ketika mengendarai angkutan, ketika berada di bandara, dan dalam semua situasi yang dialaminya. Sehingga seharusnya dia adalah contoh dalam kebaikan. Wajib baginya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah subhanahu dan mendakwahi manusia untuk mengikuti kebaikan dengan perkataan dan perbuatannya secara beriringan. Sehingga dia akan tampak jelas di antara manusia dengan ilmu dan keutamaan yang dimilikinya dan perjalanan hidupnya yang lurus serta metode yang diterapkannya yang berada di atas manhaj Nabawi yang dititi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, semoga Allah meridhai mereka, dan mereka juga sangat menaruh perhatian yang dalam untuk memberikan kejelasan bagi umat tanpa diiringi maksud untuk menyombongkan diri di hadapan mereka."

"Seorang alim maupun bukan, maka sesungguhnya berada di tepi bahaya yang sangat menakutkan. Terkadang bahaya itu datang dari sisi riya’, dan terkadang dari sisi kesombongan, dan terkadang bersumber dari sebab yang lainnya atau maksud-maksud buruk lainnya. Maka kewajiban baginya adalah bertakwa kepada Allah dan mengikhlaskan amalan untuk-Nya. Dan hendaknya dia selalu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh urusannya. Dan hendaknya dia menjadi orang yang tawadhu’ di hadapan hamba-hamba Allah, tidak bersikap sombong kepada mereka dengan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada dirinya dan tidak diberikan kepada kebanyakan orang. Maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah karenanya. Dan salah satu bentuk syukur kepada Allah ialah dengan bersikap tawadhu’, tidak sombong. Termasuk bentuk syukur kepada Allah adalah menyebarkan ilmu di masjid-masjid atau di tempat-tempat lain…." (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Pelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah

Syaikh bin Baz rahimahullah berpesan, "… Selain itu saya juga berpesan kepada saudara-saudaraku semuanya, terutama para ahli ilmu dan pelajar supaya menaruh perhatian besar terhadap Al-Qur’an Al-Karim. Karena ia adalah Kitab paling agung dan Kitab paling mulia yang telah memuat sebaik-baik ilmu pengetahuan dan ilmu yang paling bermanfaat seluruhnya, sebagaimana hal itu sudah tidak tersamar lagi. Al-Qur’an itulah pembantu terkuat sesudah Allah ‘azza wa jalla untuk bisa menopang upaya mendalami ilmu agama dan memahami seluk beluknya, dan juga untuk memupuk rasa takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia juga menjadi sarana pendukung dalam rangka meneladani orang-orang baik. Oleh sebab itu aku mewasiatkan kepada semuanya dan juga kepada diriku sendiri untuk menaruh perhatian besar terhadap Kitab yang agung ini dengan cara merenungkan dan memahami makna-maknanya serta untuk memperbanyak membacanya di waktu siang maupun malam. Dan hendaknya kita selalu kembali merujuk kepadanya dalam memecahkan segala urusan. Dan hendaknya menelaah perkataan-perkataan ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat yang belum dimengerti maksudnya, karena itu merupakan sarana terbaik untuk membantu memahami Kitabullah jalla wa ‘ala. Karena Kitab ini merupakan kitab yang terbaik, kitab yang paling utama dan kitab yang paling benar maka Allah Yang Maha suci pun berfirman tatkala mensifatinya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini akan menunjukkan kepada yang lebih lurus.” (QS. Al Israa’ : 9) Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi umat Islam.” (QS. An Nahl : 89) Allah jalla wa ‘ala juga berfirman, “Katakanlah : Ia (Al-Qur’an) merupakan petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat : 44) Allah Yang Maha suci juga berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang kami luputkan dari dalam Al-Kitab.” (QS. Al An’am : 38) Oleh sebab itulah maka sudah selayaknya bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat dan terutama bagi ahli ilmu untuk mempelajarinya dengan penuh perhatian dan menggigitnya dengan gigi-gigi geraham mereka, dan berusaha keras dalam merenungkan, memahami dan mengamalkan isinya, dan juga dengan melihat penafsiran-penafsiran yang diberikan para ulama tentang masalah yang terasa sulit dipahami. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh membawa barakah agar direnungkan ayat-ayatnya dan orang-orang yang berpikir mau mempelajarinya.” (QS. Shaad : 29) Allah subhanahu juga berfirman, “Apakah mereka tidak mau merenungkan Al-Qur’an, ataukah di atas hati mereka terdapat gembok-gembok yang menguncinya ?” (QS. Muhammad : 25)"

"Kemudian sesudah itu hendaknya ia juga mempelajari Sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, memperhatikan dan berusaha menghafalkan sebagiannya, sejauh yang mudah untuk dihafalkannya. Dengan tetap senantiasa memperbanyak mengulang dan menelaah hadits-haditsnya. Terutama hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah akidah serta perkara lain yang wajib dikerjakan oleh hamba yang sudah terkena beban syari’at. Dan juga mempelajari Sunnah Nabi tentang amal diri pribadinya sendiri, karena hal itu lebih dekat jangkauannya dan lebih wajib baginya untuk menaruh perhatian tentangnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah : Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31) Dan tidak ada jalan untuk bisa mengikuti beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sempurna melainkan dengan cara mempelajari hadits-hadits beliau, dengan menaruh perhatian terhadap hadits dan juga tetap menaruh perhatian terhadap Kitabullah ‘azza wa jalla secara beriringan. Aku nasihatkan kepada para ahli ilmu dan para pelajar agar mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab hadits, dengan banyak membacanya, mengajarkannya dan mengulang-ulangnya… " (Fadhlul 'ilmi wa syarafu ahlihi)

Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para Sahabatnya. Alhamdulillaahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat

Disusun ulang 20 Shafar 1428
Hamba yang membutuhkan ampunan Rabbnya


Abu Muslih Ari Wahyudi

Bingkisan untuk Ayah dan Ibu

Bingkisan untuk Ayah dan Ibu

untuk ayah dan ibu
yang telah berjasa besar mengasuh anak-anaknya
semoga Allah menyelamatkan keluarga kita
dari api neraka
dan mengumpulkan kita
di dalam surga-Nya

Kepada Ayah dan Bunda
Di rumah
Semoga Allah menjaga agama dan dunia kita

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Ayah dan ibu yang tercinta. Puteramu kini telah dewasa berkat bimbingan dan asuhan ayah dan ibu. Tiada balasan yang bisa ananda berikan untuk menebus kebaikan ayah dan ibu selain do’a dan harapan semoga Allah membalasnya dengan kebaikan sebanyak-banyaknya.

Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Inilah kewajiban ananda. Sebagaimana Allah ta’ala telah tetapkan kewajiban ini di dalam kitab-Nya. “Tuhanmu memerintahkanmu agar kamu tidak menyembah kecuali kepada-Nya dan untuk berbakti kepada kedua orang tua” (QS. Al Israa’ : 23)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling dicintai Allah ?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya”. Kemudian beliau ditanya apalagi amal yang paling dicintai sesudahnya. Beliau pun menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua” (HR. Al Bukhari)

Duhai, alangkah mulia kedudukan orang tua di dalam agama Islam. Sampai-sampai Nabi memasukkan dosa durhaka kepada mereka berdua sebagai dosa besar yang terbesar setelah dosa syirik. Beliau bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan tentang dosa besar yang terbesar ?” Maka para sahabat mengatakan, “Tentu mau wahai Rasulullah”. Maka beliau mengatakan, “Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Ridha orang tua menjadi salah satu sebab turunnya ridha Allah ta’ala. Nabi bersabda, “Ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua. Dan murka-Nya ada pada murka kedua orang tua” (HR. Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ nomor 3500)

Ayahanda. Puteramu telah mendapatkan banyak pelajaran berharga setelah membaca tulisan para ulama dan mengikuti pengajian-pengajian yang mereka adakan. Sungguh ini semua tidak akan terjadi tanpa pertolongan Allah kemudian bantuan ayah dan bunda kepada ananda. Inilah nikmat yang sangat agung, nikmat hidayah. Ketika kami duduk bersama para penuntut ilmu, kami baca buku-buku para ulama itu dan kami dengarkan penjelasan mereka maka kamipun menemukan kebenaran. Tentu saja kami bergembira mendapatkannya. Sebagaimana dulu sewaktu masih kecil kami sangat senang apabila menyambut kedatangan ayahanda pulang dari tempat kerja. Sungguh tiada kebahagiaan dunia yang melebihi kebahagiaan berjalan di atas hidayah.



Wahai ayahku, di sini puteramu ingin mengadu kepadamu.
Setelah kami dapatkan ilmu seteguk demi seteguk, ternyata kebenaran yang kami pelajari banyak dilanggar oleh masyarakat. Aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya banyak diabaikan oleh orang. Mulai dari perbuatan syirik, minum khamr, berjudi, pamer aurat hingga membunuh jiwa yang tidak bersalah. Sungguh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Kami sadar memang kebenaran itu sedikit pengikutnya. Akan tetapi bukankah Allah menciptakan manusia dalam keadaan memiliki fitrah untuk mengabdi kepada-Nya. Semua bayi yang dilahirkan pasti membawa fitrah. Sebagaimana sebuah sabda Nabi yang sering kita dengar, “Semua bayi terlahir di atas fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Al Bukhari)

Semua orang Islam tentu ingin menjadi penghuni surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali orang yang tidak mau” Maka para sahabat bertanya siapakah orang yang tidak mau masuk surga. Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah orang yang tidak mau” (HR. Al Bukhari) Dan amat disayangkan banyak orang Islam yang sudah tidak paham lagi ajaran agamanya. Mereka meniru budaya dan pemikiran orang-orang kafir. Akhirnya mereka besar dan tumbuh di atas nilai-nilai yang jauh dari nafas ajaran Islam. Udara yang kita hirup di negeri ini seolah-olah bukan udara kaum muslimin. Seolah-olah, nafas menjadi sesak, tenggorokan pun terasa gatal dan jantung pun tak henti-hentinya berdebar. Yang tampak adalah asap maksiat disertai teriknya kezhaliman yang menyengat dan membakar kepala.

Ayahku. Tidak kami pungkiri, kami ini adalah anak-anak yang masih belia. Kami belum banyak makan asam garam kehidupan. Kami juga tidak mengalami pahit getirnya hidup di bawah penjajahan Belanda dan Jepang yang selalu diceritakan dalam buku-buku sejarah. Kami sadar sepenuhnya, dan kami sangat menghormati jasa perjuangan para pendahulu kami. Oleh sebab itu kami ingin agar hasil perjuangan ini semakin bertambah baik dan sempurna. Apabila dulu umat Islam mengobarkan peperangan melawan penjajah yang menindas negeri kita maka kami pun tidak melakukan hal yang jauh berbeda. Kami sekarang mengajak umat Islam untuk mengobarkan peperangan melawan syaitan yang menjajah hati dan perilaku kehidupan masyarakat kita. Karena Allah ta’ala telah berfirman yang artinya, “Janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Karena sesungguhnya dia itu adalah musuhmu yang nyata” (QS. Al Baqarah : 168) Bukankah kita sering berdo’a kepada Allah agar terhindar dari gangguan syaitan baik yang berbentuk jin maupun yang berwajah manusia? Ya, inilah ajakan kami. Marilah kita selamatkan diri kita dari jebakan syaitan dan bala tentaranya.

Inilah bendera jihad yang dikibarkan oleh para ulama dari jaman ke jaman. Demi melaksanakan perintah Allah ta’ala yang turun dari atas langit sana, “Sesungguhnya syaitan adalah musuh bagi kalian. Maka jadikanlah dia sebagai musuh kalian” (QS. Faathir : 6). Inilah pertempuran yang akan terus berlangsung hingga tegaknya hari kiamat. Pertempuran antara kebenaran dan kebatilan. Pertarungan antara wali-wali Ar Rahman dengan wali-wali syaitan. Dan tidak perlu ragu lagi, hanya golongan Allah lah yang akan mendapatkan kemenangan dan keberuntungan. Allah sudah menegaskan, “Ketahuilah, hanya golongan Allah sajalah yang menjadi orang-orang yang beruntung” (QS. Al Mujaadilah : 22). Tidak perlu cemas dan takut karena Allah pasti menolong orang-orang yang membela agama-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak perlu merasa takut dan sedih. Mereka adalah orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Mereka mendapatkan kabar gembira di kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada pembatalan dalam ketetapan Allah. Itulah kemenangan yang besar” (QS. Yunus : 62)


Pelajaran tauhid yang kami dapatkan
Ayahku, suatu saat aku duduk di sebuah majelis ilmu. Ustadz (guru ngaji) yang berceramah menjelaskan kepada para penuntut ilmu yang hadir ketika itu tentang sebuah perkara yang sangat penting. Apakah gerangan isi kajian itu ? Subhaanallah, tauhid ! Ternyata tauhid adalah bagian yang sangat penting dalam ajaran Islam. Bahkan tauhid itulah inti ajaran Islam. Beliau menjelaskan bahwa tauhid itu artinya menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah saja. Inilah makna syahadat Laa ilaaha illallah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Kita tidak boleh menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah, karena itulah perbuatan syirik yang dilarang di dalam Al Qur’an. Orang yang bergantung kepada selain Allah berarti telah menyandarkan harapan hidupnya secara penuh kepada selain Allah, ini jelas tidak boleh. Sebab hanya Allah saja yang berkuasa menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan kita. Lalu apa alasan yang membolehkan kita pergi ke kubur para wali dan meminta-minta kebutuhan kita di sisi kubur-kubur mereka. Bukankah mereka itu sudah mati. Apa yang bisa dilakukan orang yang sudah mati, tidak ada.

Puteramu tidak mengada-ada. Lihatlah sebuah kampung santri di dekat ring road itu, di sana terdapat kubur seorang shalih yang konon katanya keturunan Keraton. Pada saat-saat tertentu kubur itu dikunjungi orang banyak untuk mencari berkah dan berdo’a di sisi kuburnya. Tahukah ayah, berapa orang yang datang berkunjung ke sana. Entahlah, aku sendiri belum pernah menghitungnya. Akan tetapi kita bisa bayangkan berapa banyak orang yang dibawa oleh rombongan bis-bis yang datang dari luar kota. Jauh-jauh mereka datang untuk merayakan ulang tahun kematian orang shalih itu dan mencari berkah di sana. Orang-orang yang tinggal di sekelilingnya bukan sembarang orang. Mereka adalah para kyai dan santri, yang sangat akrab dengan sarung dan peci. Tapi apakah mereka melarang perbuatan itu sebagaimana dahulu Nabi melarang menjadikan kubur beliau sebagai tempat perayaan yang dikunjungi orang-orang ? Bahkan sebaliknya, mereka semarakkan acara semacam itu dengan berbagai macam hidangan. Inikah yang disebut pariwisata, inikah yang disebut dengan keluhuran budaya nenek moyang yang harus dilestarikan ?

Ayahku, itulah sedikit ceritaku. Ayah tentu tahu, syirik adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah. Karena Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Allah mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisaa’ : 48). Semua orang pasti punya dosa dan kesalahan. Oleh karena itu setiap orang pasti membutuhkan ampunan Allah. Lalu apa jadinya apabila Allah tidak mau mengampuni dosa seseorang. Pasti orang itu akan mengalami siksa. Alangkah malangnya seorang hamba yang meninggal dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah telah mengharamkan surga baginya dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zhalim itu” (QS. Al Maa’idah : 72)

Para ustadz telah menerangkan kepada kami dengan dalil-dalil yang jelas dan kuat dari Al Qur’an maupun hadits yang menunjukkan bahwa syirik adalah dosa yang sangat berbahaya. Apabila ada seorang muslim yang melakukan syirik maka seluruh amalan yang pernah dilakukannya akan menjadi sirna. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya yang artinya, “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan terhapuslah seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang yang merugi” (QS. Az Zumar : 65)

Lalu apalah artinya shalat kita, puasa kita, shadaqah kita, kalau itu semua harus terhapus dan lenyap gara-gara sebuah dosa. Nila setitik bisa merusak susu sebelanga. Itulah kata para pujangga. Sungguh mengerikan. Amal yang sudah dikerjakan selama bertahun-tahun hilang. Lenyap sudah harapan untuk bisa mengecap kenikmatan surga. Surga, yang di dalam Al Qur’an diceritakan berisi berbagai kesenangan tiada tara. Di sana ada sungai susu, madu murni dan buah-buahan yang tidak pernah habis sebagai balasan bagi orang-orang yang beriman. Kalau surga tidak dapat, lantas tempat apa lagi yang tersisa. Neraka, duhai sungguh mengerikan dan menyakitkan tinggal di sana. Mendengar ceritanya saja kita sudah ngeri, apalagi harus merasakan panas siksanya. Siksa yang tak berkesudahan bagi orang-orang yang berbuat syirik dan terjatuh dalam kekafiran. Semoga Allah menyelamatkan diri pribadi dan keluarga kita dari api neraka.

Kami diajari untuk meninggalkan bid’ah
Ayahku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan itu tertolak” (HR. Muslim) Para ustadz menerangkan kepada kami bahwa bid’ah adalah tatacara beribadah yang tidak diajarkan oleh Nabi. Bid’ah adalah perbuatan yang sangat tercela. Karena seolah-olah orang yang melakukannya menganggap ajaran Islam ini belum sempurna, sehingga perlu untuk diberikan ajaran tambahan hasil pemikiran mereka. Seorang sahabat Nabi pernah mengatakan, “Semua tatacara ibadah yang tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya”.

Kata para ulama, suatu amal ibadah tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat :
Syarat pertama :
harus ikhlash, tidak boleh dicampuri syirik atau riya’ (cari muka)
Syarat kedua :
harus sesuai tuntunan, tidak boleh dengan cara yang bid’ah
Oleh karena itu disamping kita harus membersihkan hati kita dari syirik maka kita juga harus membersihkan tubuh kita dari tata cara beribadah yang tidak ada tuntunannya. Inilah ibadah yang akan diterima oleh Allah, yang ikhlash dan sesuai tuntunan. Inilah rahasia yang terkandung dalam dua kalimat syahadat. Asyhadu anlaa ilaaha illallah artinya kita hanya beribadah hanya kepada Allah. Dan wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah artinya kita beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Suatu saat ada seorang warga di kampung sebelah yang meninggal dunia. Dia seorang muslim. Maka orang-orang pun datang berkunjung untuk betakziah, menshalati jenazahnya dan menguburkannya. Alangkah bagusnya kaum muslimin yang telah menuruti perintah Nabi untuk merawat jenazah saudaranya, memandikan dan menguburkannya. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan. Namun sayang sekali, mereka juga melakukan ajaran ibadah baru yang tidak diajarkan. Ya, memang sudah jadi tradisi di daerah kita kalau ada orang mati maka sesudahnya diadakan kenduri, membaca surat Yasin untuk dihadiahkan pahalanya kepada mayit, berkumpul-kumpul di rumah keluarga yang ditinggal mati dan makan-makan di sana. Tradisi ini sudah lama berjalan. Sampai-sampai kalau ada seorang warga kampung yang tidak mengadakan acara seperti ini maka seketika itu pula bermunculan komentar miring dari tetangga. Belum lagi kalau yang bicara adalah pak kaum yang sudah langganan memimpin acara kenduri itu.

Hal ini sudah pernah terjadi di kampung kita. Ketika itu katanya ada seorang ibu shalihah meninggal dan berpesan kepada suami dan anak-anaknya supaya tidak perlu mengadakan kenduri dan semacamnya, karena menurut beliau hal itu tidak ada ajarannya dalam agama (baca : bid’ah). Wajar beliau bersikap demikian. Karena beliau memang dikenal sebagai seorang ibu yang rajin menghadiri pengajian dan termasuk penggeraknya. Apalagi suaminya juga seorang guru di sekolah Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang konon katanya sangat getol memerangi TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Tapi apa yang terjadi setelah pesan itu dilaksanakan oleh keluarganya. Ternyata pak kaum sempat mengatakan dengan nada tidak suka, “Mbok ya kalau tidak kuat mendo’akan sendirian ya ngundang tetangga”. Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang anak ibu shalihah itu. Tetapi karena keluarganya tetap berpegang teguh dengan ajaran Nabi maka acara semacam itupun tetap tidak diadakan. Aduh, beratnya. Mungkin demikian komentar sebagian orang. Bagaimana tidak, mereka harus berjuang melawan tradisi yang sudah mengakar dan membudaya. Tradisi yang diwariskan dari kakek dan nenek kepada cucu dan cicitnya. Tapi apa mau dikata, kebenaran harus dibela dan aturan Nabi tidak boleh diremehkan. Inilah contoh muslim yang berpegang teguh dengan pesan Nabinya.

Pada suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat kepada para sahabat sampai membuat mata mereka menangis dan hati mereka bergetar. Salah satu isi nasehat beliau adalah, “Sesungguhnya orang diantara kalian yang hidup sesudahku pasti akan melihat banyak perselisihan (penyimpangan). Maka berpeganglah dengan sunnah (ajaran)ku dan ajaran khulafa’ ur rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ajaran itu dengan gigi-gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan. Karena setiap perkara baru yang diada-adakan (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Kita memang harus taat pada Nabi dan tidak boleh durhaka kepadanya. Karena orang yang durhaka kepada Nabi sama dengan durhaka kepada Allah yang telah mengutusnya. Kalau Nabi saja bilang setiap bid’ah itu sesat masak kita mau bilang ada bid’ah yang baik ? Memangnya kita lebih pintar daripada Nabi ? Begitulah penjelasan salah seorang peserta pengajian. “Bukankah yang biasa memimpin kenduri itu pak kaum, tentunya beliau lebih paham agama daripada kita-kita ini ?” Si peserta pengajian itu pun mengatakan, “Memangnya yang tahu semua permasalahan agama hanya pak kaum ? Apa orang selain pak kaum tidak boleh bicara agama padahal dia punya dasar kuat dari Al Qur’an dan Hadits ? Apalagi para ulama sebelumnya juga sudah menjelaskan dalam kitab-kitab mereka kalau perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan”.

“Imam Nawawi mengatakan, “Adapun bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…Sedang dalilnya Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak saleh (laki/perempuan) yang berdo’a untuknya (mayit).” (An Nawawi, Syarah Muslim, juz 1 hal. 90, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan menurut Madzhab Syafi’i, hal. 9)”

Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai berikut, “Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan menutut Madzhab Syafi’i, hal. 18). Lalu apa yang harus dilakukan ? Imam Syafi’i mengatakan, “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi)” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan menutut Madzhab Syafi’i, hal. 27) “Ini lho madzhabnya Imam Syafi’i”, kata seorang peserta pengajian.

Akhir cerita..
Sedih, itulah perasaan yang tersimpan di hati kami, para peserta pengajian yang rata-rata masih muda dan berstatus mahasiswa. Apa pasalnya ? Kita sekarang sudah mengerti ajaran yang benar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tauhid, tetapi ternyata masih banyak juga masyarakat kita yang terjerumus di dalamnya, bahkan acara-acara semacam itu dijadikan objek wisata dan jadi berita hangat di media masa. Kalau diberitakan lalu dijelaskan kesalahannya, alhamdulillah. Akan tetapi kenyataannya lain. Berita yang ada justru membuat seolah-olah acara berbau kesyirikan seperti ngalap berkah, ruwatan, larungan dan lain sebagainya sebagai acara tradisi yang patut dilestarikan !! Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.

Hati siapa yang tidak menangis apabila hak Allah diinjak-injak. Allah yang sudah menciptakan kita, memberikan rizki kepada kita. Allah lah yang menurunkan hujan sehingga para petani bergembira. Allah lah yang menahan badai samudera sehingga para nelayan bisa berlayar mencari ikan untuk menghidupi sanak keluarga. Allah lah yang menumbuhkan biji-bijian sehingga para petani dan masyarakat luas bisa menikmati hasilnya. Allah lah yang mengeluarkan minyak dari perut bumi sehingga perusahaan pengeboran bisa berjaya. Allah lah yang menyediakan bahan bakar minyak bumi sehingga motor-motor pun bisa berlari kencang di jalan raya. Allah lah yang menyediakan sumber daya alam sehingga perusahaan listrik negara bisa menyebarkan energi listrik ke segenap pelosok bumi Nusantara. Allah lah yang menciptakan matahari sehingga para petani bisa menjemur gabah dan para mahasiswa pun bisa menjemur cuciannya hingga kering tanpa harus mengeluarkan sepeser biaya. Allah jugalah yang menyediakan oksigen di udara sehingga seluruh umat manusia bisa menghirup dan hidup karenanya. Allah lah yang menciptakan mata air di dalam bumi sehingga pompa-pompa air pun bisa menyerap dan mengangkatnya ke rumah-rumah penduduk dunia. Allahu akbar !! Lalu kok tega-teganya mereka melakukan syirik, bukankah itu artinya mereka telah menghina Allah ta’ala.

Belum lagi bid’ah. Penyakit yang satu ini memang susah untuk diobati. Bagaimana mau diobati, lha wong orang yang tertimpa penyakit ini merasa dirinya sehat-sehat saja. Kalau mau diobati malah marah-marah dan menuduh ‘dokternya’ dengan tuduhan yang bukan-bukan. Apalagi yang kurang coba ? Oleh sebab itulah, mereka ini ingin mengajak seluruh umat Islam yang ada untuk bahu membahu mengembalikan keindahan masyarakat Islam yang sudah lama memudar ini. Marilah kita terapkan Islam dalam hidup dan kehidupan kita. Dalam keyakinan, ucapan dan amalan kita. Baik yang terkait dengan urusan ibadah, hukum, tata cara berpakaian, bergaul, berrumah tangga, bertetangga dan lain sebagainya. Marilah kita berjuang memerangi syirik, bid’ah dan maksiat. Lalu kita tegakkan tauhid, kita hidupkan sunnah dan kita laksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah (riba), kalian pegang ekor-ekor sapi, dan kalian telah puas dengan bercocok tanam sehingga kalian pun meninggalkan jihad (membela agama dengan ilmu atau senjata). Maka pasti Allah timpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu sampai kalian mau kembali kepada ajaran agama kalian” (Silsilah Ahadits Shahihah no. 11) Wallahu a’lam. Inilah sekelumit cerita, bingkisan untuk ayah dan bunda. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya dengan tauhid dan ketaatan kita, amin.

Allahummaghfirlana wa li waalidainaa, warham huma kamaa rabbayanaa shighaara.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.